
Blog
Menakar Untung Rugi Rencana Beras Satu Harga, Banyak Mana?

Pemerintah berencana menghapus klasifikasi beras. Dengan kebijakan itu nantinya tidak ada lagi klasifikasi beras premium dan medium.
Langkah ini dilakukan dilakukan buntut maraknya kasus beras oplosan.
Menko Pangan Zulkifli Hasan alias Zulhas menyebut ke depan hanya akan ada dua jenis beras di pasar, yakni beras biasa yang sebelumnya terbagi atas medium dan premium. Kemudian beras khusus.
“Beras nanti kita akan buat hanya satu jenis beras saja. Beras ya beras, sudah. Ya tidak lagi premium dan medium,” katanya dalam konferensi pers katanya di Kantor Kemenko Pangan, Jumat (25/7).
“Ada satu lagi namanya beras khusus. Jadi cuma ada dua,” sambungnya.
Sementara itu, untuk menuju penyederhanaan klasifikasi beras itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) akan merevisi aturan mutu dan labelisasi beras .
Revisi dilakukan terhadap Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras.
Beberapa poin utama dalam revisi antara lain penghapusan klasifikasi mutu beras premium dan medium, penyederhanaan sistem klasifikasi beras, penyesuaian parameter mutu seperti kadar air dan derajat sosoh, pengaturan ulang Harga Eceran Tertinggi (HET), serta ketentuan labelisasi pada kemasan.
Kepala Badan Pangan Nasional mengatakan dengan perubahan ini nantinya beras akan satu harga. Tidak ada lagi harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium. Yang ada katanya, hanya harga maksimum beras.
“Kalau kemarin kan ada HET medium, HET premium. Tadi Pak Menko sudah putuskan maksimum saja berapa,” kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Jumat (25/7).
Ia memperkirakan dengan skema baru ini, harga beras terbaru akan lebih murah dari premium. Pasalnya, harga yang akan dipakai adalah harga tengah kualitas medium dan premium.
Lantas tepatkah klasifikasi beras medium dan premium dihapus. Apakah kebijakan ini bisa mengatasi masalah beras oplosan?
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan penghapusan klasifikasi medium dan premium bukan lah solusi mengatasi kasus oplosan beras.
Menurutnya, beras medium dan premium tetap harus ada karena akan menentukan segmentasi konsumen.
Dengan begitu, pemerintah tetap bisa melakukan intervensi untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah.
“Beras medium harus tetap ada karena ini dikonsumsi kalangan menengah bawah. Kalau beras medium sudah di atas HET (harga eceran tertinggi), maka pemerintah tugasnya stabilisasi harga di pasar,” katanya pada CNNIndonesia.com, Rabu (30/7).
Eliza menilai yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan HET beras premium. Pasalnya konsumen beras premium adalah kalangan atas yang tidak masalah jika harga beras naik sekali pun.
Menurutnya, pemerintah tidak perlu repot mengurusi HET premium.
Pasalnya HET katanya berfungsi untuk menjaga daya beli masyarakat. Sedangkan masyarakat yang perlu dijaga daya belinya adalah menengah bawah.
Karena itu, pemerintah katanya cukup mengurus HET medium, bukan premium.
“Jadi beras medium dan HET ini harus wajib ada untuk melindungi konsumen masyarakat bawah. Kalangan atas yang pengeluarannya lebih banyak untuk non makanan, tidak akan terguncang kalau harga beras premium naik,” kata Eliza.
“Jadi pemerintah jangan gegabah menghapus beras medium. Itu masih sangat diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah bawah,” katanya.
Eliza mengatakan keuntungan dari penghapusan lebih banyak dirasakan produsen dan pemerintah karena akan berkurangnya praktik kecurangan dan biaya pengawasan.
Bagi produsen juga akan berhemat karena tidak perlu lagi labeling dan biaya distribusi jadi berkurang karena tidak perlu lagi dilakukan perbedaan medium dan premium.
Tapi bagi konsumen ini dampak negatifnya besar karena potensi kecurangan tetap bisa terjadi. Tanpa diferensiasi mutu, katanya, pasar bisa didominasi beras kualitas kualitas rendah karena konsumen tidak bisa membedakan lagi antara medium dan premium.
“Misalnya beras itu ditentukan satu standarnya. Nah kemungkinan produsen melakukan kecurangan itu tetap ada. Dibuat lah beras yang di bawah standar itu. Jadi potensi perilaku kecurangan itu akan tetap terjadi meski cuma jadi satu standar saja,” katanya.
Karena itu, Eliza menilai yang perlu dilakukan pemerintah bukan menghilangkan klasifikasi mutunya, tapi pengawasannya ditingkatkan. Menurutnya, beras premium tetap ada tapi jangan diatur HET-nya.
Sedangkan beras medium perlu diatur harganya oleh pemerintah.
“Produsen bisa meraup untung karena tidak ada lagi pembatasan premium. Konsumen kelas atas puas akan kualitasnya asal yang mereka bayarkan sesuai dengan kualitas yang mereka dapatkan,” katanya.
“Medium itu diatur harganya karena segmennya kalangan menengah bawah yang harus betul-betul dijaga daya belinya,” katanya.
Sementara itu, Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari mengatakan kebijakan klasifikasi beras medium dan premium dari sisi konsumen itu sejak awal sudah tidak relevan, karena tidak ada pengaruhnya dengan semakin mahalnya harga beras saat ini, baik medium dan premium.
“Karena harga kedua jenis beras tersebut selalu di atas HET. Kebijakan ini telah gagal dalam mencegah kenaikan harga beras di masyarakat,” katanya.
Namun, jika klasifikasi atau HET beras medium dan premium dihapus tetapi pemerintah tidak memperbaiki dan meningkatkan produksi beras, maka kebijakan ini tidak ada dampaknya.
Menurutnya akar persoalan beras nasional sekarang adalah produktivitas hasil panen yang rendah. Hal itu membuat pasokan dan peredaran beras di pasar juga terbatas sehingga harganya susah ditekan.
Di samping produksi gabah turun karena sudah lewat panen raya, sambungnya, harganya juga saat ini tinggi. Harga gabah sudah di atas HET yang ditetapkan pemerintah yakni Rp6.500 per kg. Sementara, HET beras medium Rp12.500 per kg dan premium Rp14.900 per kg.
“Kalau rendemen GKP (gabah kering panen) ke beras rata-rata 50 persen maka HPP (harga pokok penjualan) beras sudah Rp13 ribu, belum dihitung biaya lainnya. Jadi, siapa yang mau kerja kalau jual beras harus sesuai HET?” kata Syaiful
“Beras premium biaya produksinya tentu lebih mahal dari beras medium. Dengan HET yang ada sekarang, siapa juga yang mau jual beras premium sesuai HET?” sambungnya.
Syaiful mengatakan kondisi itu lah yang menyebabkan penggilingan padi berhenti produksi serta mendorong mendorong praktik pengoplosan beras untuk menekan HPP.
Syaiful mengatakan sebaiknya pemerintah sudah mengubah pola pikir dalam membangun ekosistem beras nasional. Ia menilai pemerintah sebaiknya jangan hanya fokus di HET terus, sementara produksi beras tidak ditingkatkan.
“Kurangi regulasi yang membatasi produksi beras, dari hulu sampai hilirnya. Semakin banyak aturan, justru menciptakan rantai perberasan nasional makin panjang dan berbiaya tinggi,” katanya.
Dikutip dari : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250731064401-92-1256973/menakar-untung-rugi-rencana-beras-satu-harga-banyak-mana.