Bisnis, Ekonomi

Kenapa Daya Saing RI Merosot dari 27 ke 40, Salah Siapa?

Daya saing Indonesia anjlok berdasarkan laporan World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang dirilis Institute for Management Development (IMD).
Peringkat Indonesia terjun bebas dari 27 menjadi 40. Indonesia pun berada di separuh terbawah karena hanya 69 negara yang disurvei pada riset itu.

Peringkat terburuk Indonesia tercatat pada 2022 saat menempati posisi ke-44. Namun, catatan tahun ini menghapus perkembangan positif yang telah diukir dua tahun terakhir. Peringkat daya saing Indonesia sempat mencapai posisi tertinggi pada tahun lalu.

Dalam laporan ini, IMD memeriksa daya saing negara-negara berdasarkan 330 kriteria. Ada lima kriteria ekonomi dalam laporan itu, yaitu ekonomi domestik, perdagangan internasional, investasi internasional, pekerjaan, dan harga.

Indonesia mendapatkan rapor merah di kriteria investasi internasional dan harga. Daya saing Indonesia di urusan harga turun dari 12 menjadi 16. Sementara itu, peringkat Indonesia anjlok dari 6 ke 42 dalam urusan investasi internasional.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat penurunan daya saing Indonesia terjadi karena pemerintahan baru kehilangan fokus kebijakan.

Dia menyoroti efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kebijakan ini tidak berkorelasi dengan kecepatan perizinan.

“Government efficiency kita jelek kan dari peringkat 23. Jadi efisiensi anggaran ini buat apa? Itu menjadi pertanyaan. Kalau negara lain, seperti Vietnam, itu salah satu tujuan efisiensinya perizinan,” kata Bhima saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (25/6).

Hal yang sama juga menyebabkan peringkat investasi asing merosot tajam. Bhima menilai peralihan fokus kebijakan yang ekstrem dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo membuat investor hengkang.

Dia menyebut Jokowi cukup berhasil menarik investor dengan proyek infrastruktur dan hilirisasi industri. Saat dua hal itu berjalan, Prabowo justru memprioritaskan pemerintahan ke pangan dan industri pertahanan.

“Itu akan mengubah trust dari investor, terus banyak kebijakan itu berubah dengan sangat cepat,” ucapnya.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny Sasmita juga menyoroti hal yang sama. Dia mengatakan tidak fokusnya kebijakan pemerintah menjadi salah satu faktor yang membuat daya saing Indonesia anjlok.

“Secara fiskal terlihat bahwa banyak kebijakan pemerintah yang justru semakin membebani keuangan negara yang berpotensi meningkatkan utang. Sementara di sisi lain, pemerintah belum terlihat serius di dalam meningkatkan tax ratio,” ucap Ronny.

Bahaya
Bhima mengatakan ada sejumlah bahaya dari menurunnya tingkat daya saing Indonesia. Salah satunya kehilangan kesempatan mendapat investasi.

Saat kondisi global tak menentu seperti ini, banyak investor mencari tempat baru untuk menanam uang. Mereka mencari tempat teraman untuk merelokasi pabrik ataupun modal agar terhindar dari perang.

“Kalau daya saingnya ternyata mengalami penurunan yang cukup dalam, itu artinya akan ada miss opportunity. Relokasi pabriknya tidak ke Indonesia, ini akan berdampak pada masalah tenaga kerja,” ucapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho melihat bahaya mengintai Indonesia di masa mendatang. Dia menyoroti aspek sumber daya manusia (SDM) yang mengakibatkan daya saing Indonesia rendah.

Laporan IMD menyoroti rendahnya jumlah orang Indonesia yang berprofesi di bidang riset dan pengembangan. Selain itu, ada pembahasan soal rendahnya kualitas pelajar Indonesia berdasarkan skor Programme for International Student Assessment (PISA).

Laporan itu pun memberi perhatian pada rendahnya tingkat SDM Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi atau tersier. Andry mengaitkannya dengan potensi bonus demografi yang bakal dialami Indonesia.

“Bonus demografi 2040 sudah di depan mata. Jika tidak ada perbaikan secara menyeluruh, tidak ada game changer, tentu kita akan memikul beban bonus demografi nanti gitu. Pasti akan banyak tenaga kerja yang tidak terserap industri karena kualitasnya rendah,” ujar Andry.

Andry menyarankan pemerintah segera menjawab laporan menurunnya daya saing Indonesia. Jawaban dilakukan dengan memaparkan rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.

Beberapa kebijakan yang disarankan Andry adalah pembenahan infrastruktur pendidikan. Selain itu, rencana jangka panjang untuk pembenahan sistem pendidikan agar SDM bisa terserap oleh industri.

Selain untuk membenahi rapor merah Indonesia, langkah ini juga penting untuk meyakinkan investor. Menurutnya, laporan semacam ini justru menjadi acuan para pemilik modal untuk menentukan kebijakan.

“Investor asing melihat model-model seperti ini. Bagaimana kesiapan Indonesia, seberapa besar daya saing manusianya, dilihat melalui report-report seperti ini,” kata Andry.

“Pemerintah harus segera menjawab IMD ini. Karena kalau tidak, menurut saya justru ini akan membiarkan persepsi bahwa ternyata Indonesia betul tidak bersaing,” ucapnya.

Dikutip dari : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250625061906-92-1243506/kenapa-daya-saing-ri-merosot-dari-27-ke-40-salah-siapa.

Tinggalkan Balasan